MALANG KOTA – Kemendikbud
mulai merancang aturan baru terkait penilaian kinerja guru. Namanya
indeks kualitas guru. Rencananya, gagasan tersebut bakal dicanangkan
2015 mendatang.
Hal itu diungkapkan Kepala Bidang Pengembangan SDM, Pendidikan, dan
Kebudayaan Kemendikbud Dr. Syawal Gultom, M.Pd. ”Indeks kualitas guru
ini kami canangkan agar guru di seluruh Indonesia memiliki kualitas yang sama,” ujarnya usai memberikan sambutan dalam road show Pengembangan Sekolah Berbasis Standar Nasional Pendidikan (SBSNP) di Gedung Graha Cakrawala Universitas Negeri Malang (UM), kemarin (27/8).
Sebab, meski selama ini semua guru mendapat fasilitas yang sama,
terutama buku ajar (buku paket), namun kualitas anak didik berbeda.
Sebab, cara mengajar satu guru di satu sekolah dengan guru di sekolah
atau daerah lain berbeda. Nah, cara mengajar inilah yang bakal
diseragamkan dalam satu penilaian indeks kualitas guru. Sehingga goal
pendidikan sama rata. ”Nanti tidak akan ada lagi guru yang menganggap
kerjanya cuma yang penting ngajar, terima gaji, lalu pulang. Harus ada
indeks dan goal yang harus dicapai guru terkait pengembangan SBSNP ini,” bebernya.
Pihaknya juga akan mempertegas kriteria mengajar. Karena selama ini
masih banyak guru yang tidak mengerti parameter menjadi guru yang
berkinerja baik. ”Ini juga untuk memberikan penegasan bahwa sebenarnya
yang lebih penting itu bukan sertifikasi guru, melainkan indeks kinerjanya,” ucap dia.
Lalu, kriteria guru yang berkinerja baik itu seperti apa? Menurut
Syawal, untuk kriteria tersebut, masih dalam proses. Karena kriteria
tersebut tidak bisa diputuskan satu bidang, melainkan lintas bidang di
Kemendikbud.
Sementara itu disinggung soal pro kontra ujian nasional (UN), dia
menilai, untuk ukuran Indonesia, UN tetap penting. Sebab ujian sekolah
belum bisa menjadi tolok ukur kelulusan siswa. ”Coba kita perhatikan
selama ini nilai ujian sekolah siswa-siswa dari Sabang sampai Merauke,
semuanya rata. Nilainya 7, 8 dan 9. Masa iya sama semua? Kan tidak
masuk akal,” ujarnya.
Padahal menurut Syawal, kompetensi semua anak pasti berbeda-beda. ”Kalau nilai sama semua seperti itu kan pasti ada bantuan atau istilahnya katrol nilai dari sekolah,” sambungnya.
Dia menjelaskan, justru seharusnya UN jangan dimusuhi atau diprotes.
Dengan diadakannya UN, semua jadi tahu bahwa ada anak yang mendapat
nilai 3 hingga 9. ”Lebih masuk akal kan kalau ada variasi nilai seperti itu,” tandas dia. (cw2/nen)